“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya”-HR. Ad Darimi, atsar Abdullah bin Mas’ud-
Oleh: Ustadz Syariful Mahya Lubis, Lc.*
Sejumlah jawaban direkayasa, sejumlah dalilpun dipaksakan, demi melegalkan bid’ah, dan demi memberanikan orang melakukannya.
Pertanyaan tersebut terkait langsung dengan Islam, yang oleh karenanya membutuhkan jawaban yang merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber kebenaran dalam Islam, jawaban-jawaban yang hanya bersifat logika, tidak akan dapat menguak kebenaran dalam permasalahan Islam. Sebab selogis apapun sebuah jawaban tetap saja ia spekulasi relatif, yang sudah pasti dapat dipatahkan dengan hal yang sama, lebih-lebih apabila jawaban-jawaban logis tadi kontaradiktif dengan dalil-dalil yang syar’i.
Definisi
Nabi ﷺ bersabda, “Siapapun yang melakukan amal yang tidak kami perintahkan, maka amal tersebut tertolak (tidak diterima)” (HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah).
Beliau juga bersabda, “Setiap (ibadah) yang baru adalah bid’ah” (HR. Muslim, Ahmad, dan Ibn Majah, dari Jabir)
Atas dasar kedua hadits tersebut, berarti bid’ah hanyalah hal-hal yang diasumsikan ibadah, yang ternyata tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul ﷺ, baik berupa perkataan, perbuatan dan keyakinan. Jadi bid’ah bukan hal-hal yang bersifat duniawi seperti pesawat, telepon, dll.
Bentuk
Bid’ah memiliki dua bentuk:
Yang pertama, Bid’ah Haqiqiyah: Bid’ah yang bersifat total dan menyeluruh, baik dari segi dalil dasar, maupun dari segi teori pelaksanaan. Contoh: melakukan puasa akhir tahun, yang sama sekali tidak disinggung apalagi oleh dalil.
Yang kedua, Bid’ah Idlafiyah: yaitu bid’ah yang bersifat nisbi, dimana sisi kebid’ah-annya hanya dari sudut pengkhususan cara tertentu, waktutertentu, jumlah tertentu, jenis tertentu, tempattertentu, dan pengkkhususan sebab tertentu, contoh: perintah untuk berdzikir dalam ayat dan hadits bersifat global, lalu kemudian direkayasa sebuah cara tertentu, yakni dilakukan secara berjama’ah.
Status Bid’ah
Nabi ﷺ menstatuskan bid’ah melalui hadits-hadits beliau dengan: Dlalalah –sesat-(ضلالة).
Kata “sesat” mengandung makna yang umum, sehingga mencakup yang haram dan yang kufur, berarti hukum Syar’i terkait bid’ah hanya berkisar antara haram dan kufur.
Imam Al Qarafi rahimahullah menyatakan bahwa bid’ahada yang wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah, sesuai tujuan pelakasanaan dari bid’ah tersebut. (Al I’tisham 2/297, As Syathibi. Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam 2/380, Al ‘Izz bin Abdus Salam), dengan kata lain; jika bid’ah mendukung yang hal yang wajib maka berarti bid’ah tersebut hukumnya wajib seperti pembukuan Al Qur’an (yang terjadi di masa Abu Bakar), dst.
Namun hasil ijtihad Al Qarafi tersebut perlu dikritik secara sehat dan ilmiyah, mengingat “sesat” dalam terminologi ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits selalu dikontra-kan dengan hidayah seperti dalam ayat 175 surat Al Baqarah, ayat 23 surat Az Zumar, dll.
Sehingga baik dari aspek makna etimologis dari kata “sesat”, maupun dari aspek pengkontra-annya dengan hidayah, menunjukkan bahwa klasifikasi bid’ah yang disinyalir oleh Al Qarafi tersebut mengandung kelemahan, apakah rasional: bid’ah yang telah distatuskan Nabi ﷺ dengan sesat, lalu masih di klasifikasi menjadi wajib, sunnah, dll?
Adapun pembukuan Al Qur’an, maka sesungguhnya telah dilakukan di zaman Nabi ﷺ melalui sejumlah Sahabat yang terlibat dalam satu tim yang beranggotakan enam orang Sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, dll.
Sepertinya contoh pembukuan Al Qur’an tersebut tidak terlalu kuat untuk mendukung langkah klasifikasi yang ditempuh oleh Imam Al Qarafi rahimahullah.
Ada kemungkinan Al Qarafi menempuh teori (kaidah) lil wasail hukmul maqasid (status hukum sebuah sarana sesuai dengan status hukum tujuan), jadi sarana untuk yang wajib menjadi wajib dan seterusnya, lalu beliau memandang bid’ah itu hanya sebagai sarana untuk sesuatu yang wajib, sunnah, dll, maka hukum bid’ah itu disesuaikan dengan hukum tujuan.
Namun penempatan teori tersebut tidak tepat, karena sarana yang disesuikan dengan tujuan, hanyalah sarana yang pada dasarnya mubah (boleh), seperti wajib berjalan untuk menunaikan shalat Jum’at, sementara bid’ah itu terlarang. (Majmu’ah Fawaid 1/81, Shalih Al Asmari)
Menimbang Validitas Bid’ah Hasanah
Imam As Suyuthi menyebutkan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membagi bid’ah kedalam kategori Hasanah (baik) dan Dlalalah-Sayyi’ah (sesat, buruk).
As Suyuthi melanjutkan, setiap yang berbeda dari Al Qur’an, Sunnah Nabi ﷺ, atsar sahabat dan Ijma’ (konsensus ulama) adalah bid’ah dlalalah,
Dan setiap yang tidak berbeda dari keempat hal tersebut adalah bid’ah hasanah seperti membangun sekolah, dll. ( Al Amr bil Ittiba’ hlm. 6. As Suyuthi)
Hasil ijtihad tersebut perlu ditimbang secara ilmiyah dan argumentatif dengan Al Qur’an dan Hadits, karena tidak ada hasil Ijtihad yang bersifat absolut dan sakral. Asumsi adanya bid’ah hasanah seperti disebut diatas, berbenturan dengan sejumlah hal dibawah ini:
- Semua Hadits tentang bid’ah bersifat umum. Hal ini menunjukkan bahwa keumuman tersebut tidak mengandung pengecualian, karena keumuman suatu dalil jika disebutkan berkali-kali dengan bentuk yang umum tersebut, berarti tidak boleh melakukan pengecualian.
- Status bid’ah –sesat- menutup kemungkinan adanya bid’ah Hasanah, karena hakikat sesat adalah kesalahan yang dianggap benar (lihat QS. Al Kahfi ayat 104 ), seperti halnya seseorang yang tersesat di jalan, karena sebelumnya ia menganggap telah berada dalam jalur yang tepat. jadi peng-hasanah-an itulah yang sesungguhnya membuat Bid’ah itu disebut sesat.
- Jika kita mengandaikan adanya bid’ah hasanah, lalu apa yang menjadi parameter ke-hasanah-an bid’ah tersebut? kalau jawabannya Al Qur’an dan Sunnah, lalu mana ayat dan hadits yang melegalkannya? dan kalau jawabannya logika, lalu bolehkah merekayasa sebuah ibadah dalam Islam dengan menggunakan logika? Bukankah jangkauan logika manusia berbeda-beda dan terbatas?
- Ibn Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Semua bid’ah itu sesat, meski orang memandangnya baik” (Al Amr bil Ittiba’ hlm. 3. As Suyuthi)
- Oknum yang melegalkan bid’ah hasanah dengan dalih hadits yang berbunyi: apapun yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka ia juga baik dalam pandangan Allah.
Pertama, pernyataan tersebut bukan hadits Nabi ﷺ, tapi perkataan Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh sejumlah ulama seperti Imam Ahmad dalam kitab As Sunnah, Imam Al Bazzar, At Thayalisi, dll (lihat Kasyfu Khafa 2/188, Al Ajluni).
Kedua, umumnya ulama menempatkan ucapan Ibn Masud tersebut sebagai dalil bolehnya mengadopsi adat/tradisi yang tidak berlawanan/dikotomis dengan Al Qur’an dan Hadits, bukan untuk melegalkan bid’ah (lihat Al Asybah wan Nadzoir, As Suyuthi, Al Burhan, Al Juwaini, Hasyiyah Al Uththor, Al Mahalli, dll).
Ketiga, ucapan Sahabat tidak dapat digunakan untuk mengecualikan keumuman Hadits Nabi ﷺ.
- Menghasanhakan bid’ah melalui ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika pertama kali ia melakukan shalat tarawih secara berjamaah pada masa kakhalifahannya: “Ini adalah sebaik baik bid’ah” (HR. Bukahri, Malik, dll. dari Abdur Rahman bin Abdul Qory), adalah satu langkah yang tidak tepat, karena:
Pertama, Nabi ﷺ pernah melakukan shalat Tarawih berjamaah selama tiga hari, lalu beliau meninggalkannya karena takut dianggap kewajiban oleh masyarakat kala itu, jika Nabi pernah malakukannya, berarti bukan bid’ah.
Kedua, apabila Umar mengatakan bahwa itu adalah bid’ah yang bagus, berarti bid’ah yang beliau maksud berbeda dengan bid’ah yang dilarang dalam oleh Nabi dalam hadits, beliau bermaksud bid’ah lughowiyah (secara semantik) bukan syar’iyah (terminologis), karena shalat tarawih berjama’ah tersebut sempat vakum di zaman Abu Bakar.
Ketiga, lagi-lagi ucapan Shabat tidak dapat digunakan untuk mengecualikan keumuman Hadits Nabi ﷺ.
- Jika memang ada bid’ah hasanah, lalau mana yang dlalalah? Bukankah semua bid’ah itu sudah dianggap baik oleh para pecandunya?
- Sebagian orang menilai bahwa, bid’ah -hasanah- itu boleh karena tidak ada dalil yang melarang dan menyuruhnya, contoh: tidak ada dalil yang melarang dan memerintahkan peringatan maulid, berarti mubah (boleh), pembenaran seperti ini sangat keliru, sebab hukum dasar ibadah adalah terlarang, kecuali ada dalil yang menyuruh. Maka jika tidak ada dalil tentang suatu hal yang dinilai Ibadah, berarti wajib mengembalikannya kepada hukum dasar tersebut, makanya tidak boleh menambah jumlah rakaat shalat wajib meski tidak ada dalil yang melarangnya.
- Sebenarnya semua pihak mengakui, bahwa Nabi ﷺ memang tidak pernah melakukan semua yang disebut-sebut bid’ah hasanah tersebut. Masalahnya, ada oknum yang memasarkannya dengan dalih “apa salahnya, toh ada maslahatnya”, namun apakah dalam hal ini kita dinamakan mencontoh Nabi ﷺ?, jika ada perbedaan antara kita dengan Nabi ﷺ, apakah keduanya sama-sama benar? Atau apakah sama-sama salah? Atau salah satu benar? Lalu siapa yang benar?.
Perlu Dicatat
Apabila tulisan ini terkesan menyalahkan atau melemahkan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Al Qarafi, maka ada dua hal yang perlu dicatat:
Yang pertama, kesalahan seoarang Ahli Ijtihad tidak akan mencederai kemuliaan mereka, sehingga hal itu bukan aib bagi mereka, bahkan mereka tetap mendapatkan satu pahala atas Ijtihad mereka.
Yang kedua, meluruskan Ijtihad dengan dalil, adalah satu hal yang wajib dilakukan, demi menemukan kebenaran yang lebih dekat kepada Dalil.
Tips Aman & Saran
Pembicaraan tentang bid’ah seringkali menimbulkan sikap yang kurang bijak dari kalangan yang pro maupun dari pihak yang kontra, berikut ini dua buah saran atau tips aman menyikapai bid’ah:
Yang pertama, hendaknya setiap pihak menegakkan Akhlaq terhadap semua kaum muslimin, “khilafiyah’ tidak akan membahayakan sepanjang ada control berupa kemuliaan akhlak.
Yang kedua, hendaknya semua kalangan lebih mendalami agama ini dengan sungguh-sungguh dan dengan cara yang ilmiyah dan argumentative, karena penolakan, lebih sering disebabkan karena ketidak-tahuan.
Yang ketiga, lengkapi setiap informasi islam dengan dalilnya, sebab hanya dalil dengan pemahaman yang tepat, yang memungkinkan anda dapat memastikan sebuah kembenaran.
_________________________
*Alumni LIPIA. Beliau termasuk yang sangat banyak memberi faidah lewat kajian-kajian rutin beliau di Masjid Al Istiqamah, Taman Yasmin, Bogor. Beliau jugalah yang sangat mempengaruhi kami untuk bisa belajar memahami manhaj salaf, manhaj yang mulia ini. Tulisan ini kami kutip dari tulisan aslinya yang berjudul Apakah Semua Bid’ah itu Sesat yang dimuat dalam blog beliau, mahya76.wordpress.com, dengan perbaikan ejaan dan tata bahasa yang sama sekali tidak mengurangi rasa hormat kami kepada beliau hafizhahullah. Semoga Allah menjaga dan menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi beliau.
Sabtu, 16 Februari 2013
Selesai disusun di tengah gelapnya malam di timur Kota Surabaya
Artikel Cafe Sejenak
Komentar
Posting Komentar