Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya…QS al-Hujuraat: 1
Suatu hari saya pernah ditanyai oleh seseorang. Dan uniknya, yang bertanya kepada saya ini adalah seorang wanita yang saya pun baru mengenalnya. Pertanyaan yang dia ajukan pun tergolong aneh karena masih dalam tahap perkenalan. Saat itu, dia langsung bertanya kepada saya,
“Kamu masih suka ikut mauludan, gak?”
Sebuah pertanyaan yang ‘berbau’ agama rupanya. Dan sekarang, mungkin saya akan menjawab hal itu dengan lengkap:
Saya jawab pertanyaan itu dengan kalimat, “Ya”. Kenapa? Karena sampai saat ini, dalam berbagai acara mauludan yang pernah saya alami, saya hanya punya dua pilihan: Ikut atau tidak absen. Karena itu saya memilih ikut (mengingat kapasitas saya sebagai seorang pelajar biasa). Dan ketika saya ikut pun saya merasa enjoy dengan acara itu. Toh, diisi dengan tausyiah dan ceramah yang mencerahkan.
Tetapi ada yang harus kita ingat di sini, bahwa mauludan sebenarnya termasuk ke dalam kategori bid’ah. mauludan adalah suatu perkara yang baru dalam agama dan diada-adakan.
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru (bid’ah) dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak” (HR Bukhari)“Amma ba'du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitabullah (al-Qur'an), sebaik-baiknya petunjuk ialah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek perkara ialah yang diada-adakan (bid'ah), dan setiap bid'ah itu sesat” (HR Muslim)
Dan mauludan telah termasuk ke dalam hal ini. Karena dalam sejarah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan (apa lagi menyuruh) untuk memperingati hari kelahiran beliau. Dan mengingat, bahwa tradisi merayakan atau memperingati hari lahir seseorang adalah tradisi Kristen (seperti hari Natal). Apa lagi ditambah fakta bahwa tradisi mauludan pertama kali dilakukan oleh orang-orang Syi’ah di bawah kekuasaan Dinasti Fathimiyyah, maka hal itu sudah memperjelas kedudukan mauludan dalam kacamata Islam.
Namun sekarang, mengapa orang-orang dengan ringan melaksanakan bid’ah tersebut? Mungkin salah satu faktornya adalah label Bid’ah Hasanah.
Bid’ah hasanah adalah salah satu istilah yang mengacu kepada perbuatan bid’ah yang dianggap baik. Benarkah demikian?
Tentu saja tidak. Mengapa? Karena bila suatu hal yang tidak dicontohkan oleh nabi maka hal itu disebut bid’ah, sedangkan apabila ada bid’ah yang oleh seseorang atau suatu kaum dianggap benar dan baik, maka sesungguhnya, mereka telah mendzalimi Rasulullah!
Tentu saja, bagaimana tidak? Dengan adanya istilah “bid’ah hasanah” atau bid’ah yang baik, maka istilah itu telah menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sempurna menyampaikan ajaran kebaikan dan kebenaran dengan tidak sempurna.
Lagipula, apabila suatu perkara yang dilabeli “bid’ah hasanah” itu memang baik, maka siapa yang seharusnya melakukan hal itu duluan? Tentu saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!
Lagipula, ada banyak sekali sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tentu saja mengandung manfaat. Tetapi, sudahkah anda mampu untuk melakukan semuanya dengan sempurna?
Dari mulai bangun pagi hingga tidur lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan banyak sekali teladan yang baik. Dan, sudahkah anda melakukannya? Di saat ini, mungkin hanya sedikit sekali (atau mungkin tidak ada sama sekali, wallahu a’lam) yang mampu melaksanakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan keseluruhan dan dengan cara yang sempurna. Lantas, mengapa kita masih mengada-adakan perkara yang belum tentu bermanfaat bagi kita?
Kata-kata Umar
Mungkin, bagi yang menganggap bahwa bid’ah hasanah itu ada, mereka berpendapat dengan berpegang dengan kata-kata Umar bin Khattab saat beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih berjama’ah,
“Sesungguhnya sebaik-baik bid’ah adalah hal ini (tarawih berjama’ah)”
Mungkin jika sekilas, maka ini berarti bahwa Umar al-Faruq radhiyallahu ‘anhu telah menyelesihi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi sesungguhnya tidak!
Sesungguhnya terdapat perbedaan konteks antara “bid’ah” yang dikatakan Nabi dan “bid’ah” yang dikatakan Umar. Bid’ah yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah perkara baru dalam agama. Sedangkan bid’ah yang dikatakan Umar adalah perkara shalat tarawih berjama’ah.
Tentu saja, sebenarnya shalat tarawih berjama’ah pernah dan hanya beberapa kali dilakukan secara berjama’ah oleh nabi, namun bukan berarti hal itu tidak pernah dilakukan. Di zaman Umar, kebersamaan kaum muslimi sedikit renggang, maka dari itu Umar berinisiatif untuk kembali menghidupkan shalat tarawih berjama’ah.
Tapi kan Baik?
Memang, perbuatan bid’ah hasanah seperti contohnya mauludan cukup baik. Diisi dengan ceramah dan tausyiah yang menggugah. Namun, jika hal itu diikuti oleh orang yang ilmunya masih ‘dangkal’, maka tentunya hal itu akan dijadikan sebuah tradisi.
Contohnya saja tradisi grebek maulud. Memang, baik. Baik untuk mempersatukan dan membina ukhuwah. Namun, ketika hal itu kemudian menjadi sebuah ‘kewajiban’, maka hal itu sudah melanggar batas. Apalagi dibumbui dengan upacara-upacara adat yang mengandung kemusyrikan. Maka apakah hal itu dibenarkan? Tentu tidak!
Karena itu, janganlah melakukan sesuatupun yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sudah saatnya kita kembali introspeksi diri. Sudahkah ibadah dan perbuatan kita telah memiliki landasan yang kuat dan benar?
Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar