Siapa yang tidak mengenal kitab Ihya Ulumuddin? Ya, kitab hasil karya Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang sering dijadikan sebagai sandaran dan rujukan bagi sebagian ummat Islam terutama di Indonesia. Imam Al-Ghazali sering sekali dianggap sebagai ahli filsafat Islam dan ilmu kalam. Dan kitabnya yang berjudul Ihya Ulumuddin itu pun dianggap sebagai ‘masterpiece’ Imam Al-Ghazali dalam hal imu kalam dan filsafat. Namun, bagaimanakah sebenarnya kitab Ihya Ulumuddin dalam timbangan para ulama?
Sekilas Biografi Imam Al-Ghazali
Karena pembahasan kali ini adalah tentang kitab Ihya Ulumuddin, maka biografi Imam Al-Ghazali pun hanya sekilas. Beliau dilahirkan di Thus, Khurasan (sekitar Irak-Iran.red) pada tahun 450 H. Sempat mengajar di Baghdad lalu menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali lagi ke Thus.
Membantah filsafat dalam kitabnya “At-Tahafut Al-Falasifah” namun beliau sendiri masih belum bisa keluar dari filsafat, sebagaimana diungkapkan muridnya, Abu Bakar Ibnul Arabi,
Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu(Majmu’ Fatawa 4/164)
Memiliki pengetahuan yang sangat minim dalam ilmu hadits dan atsar. Namun di akhir hayat beliau akhirnya mendalami ilmu hadits. Dan akhirnya wafat di tahun 505 H di kota kelahirannya, Thus. (Disarikan dari Siyar A’lam Nubala 6/34, Adz-Dzahabi. Dan Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201, As-Subki)
Pernyataan Ulama Tentang Kitab Ihya Ulumuddin
Sekiranya yang sangat pantas untuk menjelaskan mengenai kandungan dari Kitab Ihya Ulumuddin adalah para ulama yang telah meneliti kitab tersebut. Dan di bawah ini kami bawakan beberapa pendapat ulama tentang kitab ini.
Ibnul Jauzi
“Ketahuilah, bahwa kitab Ihya’ Ulumuddin di dalamnya terdapat banyak kerusakan (penyimpangan) yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan (dibandingkan penyimpangan-penyimpangan besar lainnya) adalah hadits-hadits palsu dan batil (yang termaktub di dalamnya), juga hadits-hadits mauquf (ucapan shahabat atau tabi’in) yang dijadikan sebagai hadits marfu’ (ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia yang memalsukannya. Dan (sama sekali) tidak dibenarkan mendekatkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan hadits yang palsu, serta tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan (atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Minhajul Qashidin, yang dikutip dalam Majalah Al-Bayaan, edisi 48 hal. 81)
Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthuusyi
“…Kemudian al-Ghazali memenuhi kitab ini dengan kedustaan atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan aku tidak mengetahui sebuah kitab di atas permukaan hamparan bumi ini yang lebih banyak (berisi) kedustaan atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kitab ini.” (Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’, 19/495).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
“Dalam kitab ini terdapat hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang lemah bahkan banyak hadits yang palsu. Juga terdapat banyak kebatilan dan kebohongan orang-orang ahli Tasawwuf.” (Majmu’ Fatawa, 10/552).
“Kitab ini berisi pembahasan-pembahasan yang tercela, (yaitu) pembahasan yang rusak (menyimpang dari Islam) dari para ahli filsafat yang berkaitan dengan tauhid (pengesaaan Allah Subhanahu wa Ta’ala), kenabian dan hari kebangkitan. Maka, ketika penulisnya menyebutkan pemahaman orang-orang ahli Tasawwuf (yang sesat) keadaannya seperti seorang yang mengundang seorang musuh bagi kaum muslimin tetapi (disamarkan dengan) memakaikan padanya pakaian kaum muslimin (untuk merusak agama mereka secara terselubung). Sungguh para imam (ulama besar) Islam telah mengingkari (kesesatan dan penyimpangan) yang ditulis oleh Abu Hamid al-Gazali dalam kitab-kitabnya” (Majmu’ Fatawa, 10/551-552)
“Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Imam Adz-Dzahabi
“Di dalam (kitab) Al Ihya banyak terdapat hadits yang batil. Selain itu juga terdapat kebaikan yang banyak seandainya tidak dimasukkan di dalamnya adab-adab, perjalanan-perjalanan dan kezuhudan yang berasal dari cara-cara ahli hikmah dan orang-orang sufi yang menyimpang.” (Siyar A’lamin Nubala’, 19/339).
“Bagaimanakah seandainya beliau melihat tulisan-tulisan Abu Hamid Al Ghazali At Thusi dalam Al Ihya yang di dalamnya banyak terdapat hadits-hadits palsu” (Mizanul I'tidal jilid 1 hal 431)
Ibnu Katsir
“…Akan tetapi di dalam kitab ini banyak terdapat hadits-hadits yang asing, mungkar dan palsu.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 12/174).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
“Betapa banyak kitab Ihya’ Ulumiddin memuat hadits-hadits (palsu) yang oleh penulisnya dipastikan penisbatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Imam Al-Iraqi dan para ulama lainnya menegaskan bahwa hadits-hadits tersebut tidak ada asalnya (hadist palsu).” (Silsilah Al-Ahaadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, 1/60).
Imam As-Subki
Beliau mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab Ihya’ Ulumiddin yang tidak ada asalnya dan setelah dihitung semuanya berjumlah 923 hadits (Thabaqat Asy Syaafi’iyyatil Kubra, 6/287)
Ibn Aqil Al-Hanbali
Beliau menetapkan bahwa kebanyakan dari tema-temanya merupakan kekufuran yang murni (Kutubun, Akhbarun, Rijaalun, Ahaadits Tahtal Mijhar hal. 47)
Ketika Kitab Ihya Ulumuddin sampai ke Cordoba, tersebarlah kabar tentang kejelekan dan apa-apa yang ada dalam kitab tersebut. Kebanyakan menginkari kitab tersebut terutama hakim mereka Ibn Hamdin (w. Abad 6 H). Dia melaporkan hal itu hingga menkafirkan penulisnya dan bahkan raja saat itu tertipu dengan kitab itu serta meminta kesaksian para ahli fiqhnya. Namun Ibn Hamdin dan para ahli fiqh itu sepakat untuk membakar kitab tersebut. Dia memerintahkan Ali bin Yusuf bin Tasyifin (w. Abad 12 M) berdasarkan fatwa mereka agar membakar kitab itu. Lalu Ali bin Yusuf membakarnya di Cordoba di pintu Barat di halaman masjid dengan seluruh lembaran yang terbuat dari kulit telah dilumuri minyak di hadapan orang-orang. Ali bin Yusuf kemudian mengutus orang ke seluruh negerinya agar memerintahkan mereka untuk membakarnya. Dan berturut-turut pembakaran terhadap kitab tersebut terjadi khususnya di Maroko. (Kutubun, Akhbarun, Rijaalun, Ahaadits Tahtal Mijhar hal. 48, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan)
Dengan demikian, telah jelaslah kepada kita bagaimana sebenarnya kedudukan kitab Ihya Ulumuddin di mata para ulama. Sehingga menjadi gambaran bagi kita bahwa buku itu adalah buku yang berbahaya. Dan semoga penulisnya, Imam Al-Ghazali, dirahmati dan diampuni oleh Allah atas kesalahan dan kekhilafannya.
Wallahu a’lam.
Bogor, 7 Juli 2011. Jundullah Abdurrahman Askarillah.
Komentar
Posting Komentar